Kabupaten Halmahera Barat
PETA Indonesia barangkali merupakan peta yang selalu ketinggalan zaman. Selama lima tahun belakangan ini pemekaran demi pemekaran wilayah terus terjadi sedemikian pesatnya, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kecamatan.
MALUKU juga tidak terhindar dari pemekaran. Presiden BJ Habibie menandatangani Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 yang memekarkan Provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara (Malut) yang membawahi Kabupaten Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah serta Kota Ternate.
Empat tahun kemudian, pada tanggal 25 Februari 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang terbentuknya Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Malut.
Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Sula merupakan pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara. Luas wilayah Kabupaten Maluku Utara semula 22.584 kilometer persegi, kini tinggal 2.756 kilometer persegi. Perundangan menyebutkan pergantian nama Kabupaten Maluku Utara menjadi Kabupaten Halmahera Barat dengan ibu kota di Jailolo. Akibat pemekaran itu kecamatan yang menjadi wilayah Halmahera Barat tinggal Jailolo, Jailolo Selatan, Sahu, Ibu, dan Loloda.
Sebelum pemekaran, sektor pertanian menjadi tulang punggung utama perekonomian. Tahun 2001 kontribusi pertanian Rp 434,132 miliar atau 40,3 persen total perekonomian yang jumlahnya mencapai Rp 1,0 triliun. Kontributor terbesar kedua berasal dari sektor industri pengolahan sebesar Rp 258,8 miliar atau 24,0 persen.
Ekspor wilayah ini cukup menggembirakan. Tahun 2001 diperoleh devisa 67,8 juta dollar AS dengan volume 1,8 miliar ton yang terdiri dari kayu bulat, kayu lapis, kayu olahan, ikan beku, ikan karang hidup, lobster, dan nikel. Komoditas tersebut dikirim ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Hongkong, Korea, Taiwan, dan Cina. Untuk negara Eropa diwakili Belanda dan Belgia, sedangkan Timur Tengah ke negara Bahrain, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Aljazair. Pemasukan devisa terbesar dari Jepang 39,9 juta dollar AS, disusul Korea 8,9 juta dollar AS, dan Amerika Serikat 8 juta dollar AS.
Setelah kabupaten mengalami pemekaran muncul pertanyaan, masihkah pertanian dan industri pengolahan menjadi penunjang perekonomian, mengingat luas wilayah yang diwarisi Halmahera Barat hanya tinggal seperdelapan luas Kabupaten Maluku Utama yang lama? Dari data Maluku Utara dalam Angka 2001 di lima kecamatan yang menjadi wilayah Halmahera Barat terdapat 202.000 hektar lahan sawah, lahan kering, lahan tidur serta lahan tadah hujan. Lahan irigasi yang ditanami seluas 90 hektar dan menghasilkan 1.112 ton. Adapun dari 160 hektar luas lahan padi gogo dipanen 332 ton. Sementara tanaman palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kedelai menyita 700 hektar lahan.
Padi hasil panen wilayah ini tidak cukup bagi kebutuhan penduduk yang mayoritas mengonsumsi beras. Untuk mencukupinya dipasok beras dari Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai salah satu lumbung padi Indonesia Timur. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila gampang ditemukan kapal-kapal Bone yang mengangkut bahan kebutuhan pokok di Provinsi Maluku Utara, termasuk ke Halmahera Barat, yang 18.000 hektar wilayahnya merupakan perkebunan kelapa, cengkeh, kakao, pala, kapuk, dan kayu manis. Perkebunan kelapa merupakan yang terbesar, 69 persen dengan produksi 17.167 ton.
Hasil produksi perkebunan diperdagangkan ke Surabaya, Makassar, dan Manado. Harga kopra Rp 75.000 per 100 kilogram, sedangkan cengkeh, cokelat, dan pala per kilogramnya dihargai Rp 10.000, Rp 7.500, dan Rp 20.000. Harga tersebut bisa turun-naik dengan tajam. Cengkeh pernah mencapai Rp 75.000 per kilogram. Perkebunan yang menjadi tempat bergantung sekitar 23.000 petani akan tetap memainkan peran yang berarti bagi perekonomian Halmahera Barat.
Potensi perikanan laut sewaktu masih menjadi Kabupaten Maluku Utara ikut menyumbang devisa meskipun masih ditangani secara tradisional. Tahun 2001 dari lautan ini dihasilkan devisa 1,8 juta dollar AS. Perikanan bisa menjadi tumpuan Halmahera Barat untuk andalan ekspor.
Tahun 2001 jumlah ikan yang berhasil ditangkap mencapai 4.531 ton. Jumlah tersebut jauh di bawah hasil tangkapan tahun 1998-1999 yang mencapai 7.554 ton dan 6.604 ton. Kecamatan Jailolo dan Loloda merupakan sentra perikanan Halmahera Barat.
Pada tahun 2000 tidak tersedia data perikanan. Bisa dimaklumi, mengingat terjadinya kerusuhan akhir Oktober 1999 di wilayah Kao dan Malifut, dan akhir Desember 1999 yang melanda Tobelo, Galela, Jailolo, Suhu, Ibu, dan Morotai.
Kecamatan Jailolo merupakan pusat industri pengolahan dengan andalan utama komoditas ekspor berbahan baku kayu. Di sini muncul kendala yang bisa mengancam kelancaran industri ini, yaitu semakin sulit mendatangkan bahan baku kayu dari Kalimantan dan Papua. Kayu bagi wilayah tersebut merupakan komoditas unggulan untuk memasukkan devisa. Tentunya prioritas utama mencukupi lebih dulu kebutuhan industri pengolahan di wilayahnya masing-masing.
Perut bumi Halmahera Barat juga menyimpan kekayaan bahan galian logam dan nonlogam. Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Maluku Utara di Kecamatan Loloda terdapat kandungan emas, mangan, tembaga, pasir besi, batu bara, dan perlit. Belum ada data berapa besar kandungan kekayaan yang terdapat di kecamatan ini.
Sedangkan di Kecamatan Jailolo terdapat andesit 17.306 juta meter kubik, kaolin 5 juta meter kubik, batu apung 20 juta meter kubik, gips 6 juta ton meter kubik, dan batu bara. Namun, kekayaan perut bumi ini belum ada yang menambangnya.
Bagi Halmahera Barat tahun ini kiranya merupakan tahun yang berat. Di samping harus memikir ulang pengembangan wilayahnya sendiri setelah pemekaran, wilayah ini juga harus memberi dukungan pembiayaan bagi Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Sula. Dana Alokasi Umum yang diterima harus rela dibagikan sesuai kesepakatan dengan kabupaten-kabupaten yang baru dilahirkan.
FX Sriyadi Adhisumarta/Litbang Kompas
Kota Ambon
KOTA Ambon hanyalah sebagian kecil dari wilayah Maluku. Kota ini terletak di Pulau Ambon, satu di antara 1.027 pulau besar dan kecil yang bertebaran di daerah yang terkenal dengan julukan Seribu Pulau. Bagai dupa raksasa yang menyebarkan wewangian nan menyengat indera penciuman, itulah Kepulauan Maluku. Gugusan pulau tempat berburu cengkeh dan pala yang seolah menyerupai surga rempah-rempah dunia ini, telah mengundang banyak orang dari berbagai belahan Bumi untuk berbondong-bondong datang ke sana. Dulu, tempat ini menjadi persinggahan penting dan tujuan perdagangan antarbangsa.
Para pedagang Arab, Persia, India, Malaka, dan Cina, hilir mudik datang mengunjungi. Bahkan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda berhasrat memiliki. Tetapi itu dulu, sekitar abad ke-15 hingga abad ke-20 ketika cengkeh dan pala tumbuh dengan suburnya.
Kini cerita itu tinggal kenangan. Kisah melimpah ruahnya rempah-rempah yang kemudian justru menyebabkan terkurasnya kekayaan alam dan kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa yang dilakukan oleh jaringan niaga VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda di masa itu, telah berlalu. Ambon dan Maluku pada umumnya, kini tak lagi identik dengan pusat perdagangan rencah, bumbu pemberi rasa dan bau khas pada makanan.
Perekonomian Ambon yang awalnya berorientasi pada perdagangan, kini mengalami perubahan. Tepatnya sejak tahun 1998, saat munculnya kerusuhan di wilayah ini, kegiatan ekonomi Ambon didominasi oleh sektor pertanian. Di tahun itu perdagangan hanya menjadi kontributor kedua dengan sumbangan 21 persen Produk Do-mestik Regional Bruto (PDRB). Parahnya setahun kemudian (tahun 1999), posisinya makin turun hingga berada di peringkat ketiga, mencapai 13 persen dari total PDRB.
Bagi Ambon, dominasi sektor pertanian ternyata tak memberi angin segar untuk perekonomiannya. Primadona hasil pertanian yang biasanya disandang oleh tanaman bahan pangan seperti beras, tak mampu dipersembahkan oleh tanah Ambon. Bahkan kontribusinya dapat dikatakan nol. Kondisi topografi atau permukaan tanah yang umumnya sama di Kepulauan Maluku, bergelombang dan terbentuk dari batu karang dan kapur, tak memungkinkan bagi tumbuhnya tanaman padi-padian.
Meski hampir setengah dari total lahan kering yang ada, yaitu 154,6 kilometer persegi digunakan untuk bercocok tanam, tanah di wilayah ini hanya mampu memproduksi tanaman palawija seperti ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan jagung serta tanaman hortikultura, yaitu sayuran dan buah-buahan. Hasilnya pun masih jauh dari memuaskan. Dengan luas lahan 375 hektar diperoleh sebanyak 2.181 ton ubi kayu di tahun 2000. Jumlah ini adalah yang tertinggi di antara hasil bumi lainnya. Oleh sebab itu, Ambon sulit mengandalkan tanahnya untuk menambah pemasukan daerah.
Akan tetapi, kota ini masih bisa menggantungkan harapannya dari potensi perairan yang ada. Hasil tangkapannya memang masih berfluktuasi cukup mencolok dari tahun ke tahun, namun tetap harus dilirik sebagai komoditas yang menjanjikan. Seperti hasil ikan cakalang, tahun 1999 Ambon mampu memperoleh uang senilai Rp 65,1 milyar (jumlah itu setara dengan 28.582 ton ikan). Namun sayang, setahun kemudian hasil tangkapannya menurun drastis hingga kira-kira menjadi seperlimanya, 5.904 ton. Padahal, peluang ekspor khususnya tataki, yaitu ikan cakalang segar yang dibekukan pada suhu hingga 50 derajat Celsius di bawah nol, cukup menjanjikan. Menurut catatan, dari produksi tahun 1999 Kota Ambon baru mampu memasok 0,5 persen permintaan pasar Jepang.
Meski perolehan ikan cakalang tak memuaskan di tahun 2000, Ambon cukup terhibur dengan perolehan udang yang nilainya mencapai Rp 196,9 milyar atau sekitar 88,12 persen dari total hasil perikanan.
Hancurnya perdagangan Kota Ambon ternyata juga tak mampu ditutup oleh sektor jasa. Berbagai obyek wisata yang mestinya berpotensi menggairahkan kegiatan ekonomi Ambon, ikut mengalami keterpurukan akibat gejolak sosial yang berkepanjangan.
Hilangnya rasa aman dan nyaman akibat kerusuhan di daerah ini, memaksa Ambon sejenak dihindari para pelancong yang ingin datang dan membelanjakan uangnya di sana. Selama pecahnya kerusuhan, tak tercatat adanya pengunjung yang datang. Padahal, banyak obyek yang sangat menarik seperti pantai, taman laut, museum sejarah, dan dusun wisata yang-seluruhnya-ada di 31 lokasi. Daerah-daerah wisata yang tersebar di tiga kecamatannya, yaitu Nusaniwe, Sirimau, dan Teluk Ambon Baguala itu berpeluang menjaring banyak pemasukan.
Di Kecamatan Nusaniwe, tepatnya di Desa Latulahat, terdapat suatu daerah yang menarik dikunjungi, yaitu Pantai Namalatu. Pantai berpasir putih dan berair bening yang menghadap langsung ke Laut Banda ini akan mengundang siapa saja yang hadir di sana untuk merenangi dan menyelaminya. Dasar lautnya menyajikan kekayaan alam yang jarang ditemui di tempat lain.
Lokasi-lokasi wisata seperti itu, jika kembali diberdayakan, akan mendukung pemulihan perekonomian Ambon. Pemasukan daerah serta pendapatan per kapita masyarakat Ambon yang mencapai Rp 2,5 juta di tahun 2000 pun akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Dan "Ambon Manise" seperti yang dibanggakan selama ini akan benar-benar terbukti manise. (Nila Kirana/ Litbang Kompas)
Info lain dapat dilihat di: http://gotoambon.blogspot.com/
Kota Sorong
LAUT terdalam, demikian arti kata sorong dalam bahasa Biak. Orang Biaklah yang pertama kali menemukan daerah Sorong sebelum Belanda tiba di Papua. Di masa selanjutnya, sebuah perusahaan minyak Belanda memulai eksploitasi minyak di Klamone dan membangun permukiman di Sorong. Sejak itu, Sorong yang letaknya berada di Kepala Burung Pulau Papua menjadi pusat kegiatan dan pintu gerbang masuk dan keluar Papua.
USIA Kota Sorong masih relatif muda. Baru tiga tahun sejak ditetapkan sebagai kota pada 28 Februari 2000. Namun, perannya sebagai pusat kegiatan perekonomian sudah dikenal sejak masih menjadi bagian dari Kabupaten Sorong, bahkan jauh sebelum itu. Berbagai julukan kerap terdengar, mulai dari kota minyak, kota niaga, hingga kota pintu masuk ke Papua.
Letaknya yang berada di Kepala Burung menjadikan Kota Sorong strategis sebagai pintu gerbang Papua. Semua itu tergambar pada lambang kota yang diwujudkan dalam rupa bangunan gedung bertingkat warna putih dan di depannya terdapat gambar kapal laut. Gambar itu selain diartikan sebagai pintu gerbang masuk dan keluar kapal laut ke Papua, juga sebagai kota perdagangan, industri, dan jasa.
Sejak peningkatan status menjadi pemerintahan sendiri, Kota Sorong terus gencar menggali potensi wilayahnya.
Sumber daya alam yang dimiliki terbilang kecil karena sebagian besar berada di kabupaten induk, Kabupaten Sorong. Untungnya, sejak dulu Kota Sorong sudah mempunyai peran penting bagi daerah sekitar, khususnya daerah sekitar Kepala Burung.
Kabupaten Manokwari dan Fakfak sangat merasakan manfaat kota ini sebagai pintu masuk ke Papua. Transit barang yang diangkut ke Bintuni, Babo, dan sekitarnya di Kabupaten Manokwari dan Fakfak dari Kota Sorong terbilang aman.
Julukan Kota Minyak yang melekat sejak tahun 1947 menjadi salah satu bukti bagaimana kota ini sejak dulu telah berperan sebagai home base bagi perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di wilayah Kabupaten Sorong. Saat ini pun, ada 350 sumur minyak yang diolah di wilayah Kabupaten Sorong, sementara pelabuhan ekspor minyak serta sejumlah tanki penampung berada di Kota Sorong. Ada 12 tanki penampung, yakni sembilan buah untuk menampung produksi minyak kerasin, premium, solar dan avtur, dan tiga buah tanki untuk menampung klamono crude oil yang kapasitasnya mencapai 120 ribu barrel. Produksi minyak yang dihasilkan diekspor ke Jepang, Hongkong, dan Singapura.
Ekspor hasil tambang tersebut menyumbang 55,3 persen total nilai ekspor Kota Sorong tahun 2001 yang mencapai 87,20 juta dollar AS. Sektor perikanan berada diurutan kedua sebesar 24,5 persen disusul industri kayu lapis dan blockboard 18,9 persen. Untuk pemasarannya, negara Jepang, Cina, Australia, Singapura, Hongkong, dan Thailand masih merupakan pasar potensial bagi ekspor Kota Sorong.
Peran Kota Sorong sebagai pintu gerbang juga membuka peluang bagi investor dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Pelabuhan laut dan udara menjadi faktor penting dalam membuka peluang investasi.
Kaitannya menjadi luas mencakup berbagai sektor, mulai dari sektor industri sampai pertanian, termasuk di dalamnya sektor perikanan. Sektor ini memang mendapat perhatian khusus. Sarana pelabuhan perikanannya terbilang lengkap karena adanya dermaga perikanan milik swasta, yakni dermaga PT Wifi dan PT Citra Raja Ampat Canning. Belum lagi pangkalan pendaratan ikan yang dilengkapi dengan gudang dan tempat pelelangan, sarana cold storage, serta pabrik es.
Pembangunan perikanan dan kelautan itu juga untuk meningkatkan ekonomi masyarakat nelayan dan petani ikan. Ada 3.726 nelayan yang menggantungkan hidup pada sektor perikanan. Tahun 2001 produksi perikanan rakyat sebesar 1.193,83 ton dengan nilai Rp 3,70 miliar. Hasil perikanan rakyat ini juga turut menunjang sektor industri perikanan.
Selain memacu investor besar, sarana dan prasarana perikanan juga untuk membangkitkan gairah usaha industri perikanan. Termasuk usaha-usaha perikanan di luar Kota Sorong, yang memilih kota ini sebagai home base-nya.
Ada beberapa perusahaan yang bergerak di bidang penangkapan udang, pengolahan ikan kaleng, perusahaan pengolahan ikan kayu, perusahaan pengumpulan hasil perikanan, perusahaan penangkapan ikan tuna/cakalang, serta beberapa perusahaan perorangan.
Sektor industri memang berkembang pesat di sini. Tenaga kerja yang terlibat di sektor ini pun jumlahnya tidaklah sedikit. Sebanyak 349 unit usaha yang bergerak di sektor industri pengolahan mampu melibatkan 2.309 tenaga kerja. Industri besar yang berjumlah 43 unit usaha menyerap 1.173 orang, di antaranya berupa perusahaan minyak dan usaha perikanan tangkap.
Industri sedang yang jumlahnya 224 unit usaha dengan 940 tenaga kerja, bidang usaha yang digeluti lebih bervariasi. Selebihnya, sebanyak 82 unit usaha merupakan industri kecil dengan 196 tenaga kerja. Banyaknya industri yang berkembang di kota ini terlihat dari kontribusinya yang menempati urutan pertama, sebesar Rp 148,78 miliar atau 26,5 persen bagi kegiatan ekonomi Kota Sorong tahun 2001. Tak salah bila kota ini menyandang nama kota niaga atau industri.
Erat kaitannya dengan sektor industri pengolahan adalah sektor perdagangan. Didukung oleh sarana perdagangan yang memadai, seperti pasar umum, lima pasar tradisional, enam supermarket, toko-toko besar dan kecil lainnya, aktivitas perdagangan juga terlihat dinamis. Untuk mendukung aktivitas perdagangan dan industri, sektor perhubungan menjadi sangat penting.
Di Sorong terdapat dua bandara, yakni Bandara Jefman Sorong dan Bandara Sorong Daratan. Bandara Jefman terletak di pulau Jefman, pulau kecil sebelah barat Sorong, sekitar 15 mil. Untuk mencapainya perlu waktu 20 menit menggunakan speedboat.
Bandara ini dibangun pada masa kolonial Belanda. Panjang bandara 1.850 meter dengan klasifikasi bandara kelas dua. Bandara lainnya, yakni bandara Sorong Daratan, terletak di tanah Papua. Selama ini bandara Sorong Daratan baru bisa didarati pesawat-pesawat kecil, jenis Twin Otter dan Fokker 28. Pesawat berbadan besar semacam Boeing tidak bisa mendarat di sini.
Sudah tentu fasilitas utama yang perlu dibenahi adalah bandara Sorong Daratan. Saat ini Pemerintah Kota Sorong tengah melebarkan landasan bandara Sorong Daratan dan membangun sarana pendukung lainnya. Bila sesuai rencana, tahun 2004 Bandara Sorong Daratan sudah dapat berfungsi menggantikan Bandara Jefman. Bandara itu pun ditargetkan bisa didarati pesawat besar.
MG Retno Setyowati Litbang Kompas
Kota Jayapura
UNIK dan menarik. Dua kata itu tepat untuk menyebut kota yang terletak di paling ujung kawasan timur Indonesia. Selain letaknya berbatasan dengan Papua Niugini dan topografi yang berbukit-bukit, kota ini pun berganti nama sebanyak empat kali sebelum menjadi Jayapura.
SEBELUM perang dunia II, saat Belanda mendarat di bumi Papua, Jayapura diberi nama "Hollandia", yang berarti daerah berbukitbukit dan berteluk. Saat itu daerah ini ditunjuk sebagai ibu kota "Dutch New Guinea". Setelah definitif kembali ke Indonesia pada 1 Mei 1963, sejak saat itu nama "Hollandia" menjadi "Kota Baru" (1963-1969), lalu "Sukarnopura" (1969-1975), dan akhirnya "Jayapura".
Berada di Jayapura yang terletak di bibir Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yotefa akan disuguhkan pemandangan indah panorama alam yang berbukit-bukit serta hamparan lautan Pasifik berair biru jernih. Kekayaan alam yang demikian indah itu menawarkan obyek wisata menarik.
Dari kota ini pun bila ingin ke Papua Niugini (PNG) hanya diperlukan waktu tempuh lebih kurang 1,5 jam lewat darat. Tak salah bila pemerintah kota merancang Jayapura sebagai kota jasa, perdagangan, dan pariwisata. Di luar itu, sebutan kota pendidikan atau pun kota pelabuhan juga melekat bagi ibu kota Provinsi Papua ini.
Topografi daerahnya cukup bervariasi, mulai dari dataran hingga daerah berbukit di ketinggian 700 meter di atas permukaan air laut. Wilayah perbukitan terjal, rawa-rawa, dan hutan lindung dengan kemiringan 40 persen merupakan daerah yang tidak layak huni. Kondisi seperti itu membuat penyebaran penduduk kurang merata. Penduduk banyak terkonsentrasi di pusat kota, yaitu Kecamatan Jayapura Utara dan Jayapura Selatan.
Kota Jayapura memiliki beragam fungsi. Citra sebagai ibu kota provinsi yang menyandang segala kemudahan pemenuhan kebutuhan hidup dan sarana pendukung menyebabkan kota ini jadi kota tujuan. Beragam etnis, agama, budaya, maupun tingkat pendidikan mewarnai kehidupan kota. Mereka bekerja di berbagai bidang mulai pertanian hingga pemerintahan.
Sektor jasa paling banyak menyerap tenaga kerja sejumlah 29.180 orang atau 41,8 persen berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002. Dikaitkan dengan kegiatan ekonomi Kota Jayapura, sektor jasa memberi kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Jayapura, 25-30 persen dari total PDRB. Jasa pemerintahan umum merupakan penyumbang terbesar-90 persen lebih-bagi sektor jasa. Rupanya, sebagian besar penduduk Jayapura bekerja sebagai pegawai negeri. Ini artinya, pengeluaran terbesar Pemerintah Kota Jayapura adalah belanja pemerintahan, termasuk untuk gaji pegawai.
Keinginan pemerintah kota mengembangkan Jayapura sebagai kota perdagangan cukup beralasan. Lahan usaha ini menyerap 15.124 tenaga kerja atau 21,7 persen. Sebutan kota perdagangan ini dikaitkan dengan fungsinya sebagai tempat menampung hasil pertanian, hasil industri rumah tangga di sekitarnya, maupun sebagai pusat distribusi barang ke daerah lain dan bagi Jayapura sendiri.
Fasilitas yang tersedia berupa pasar tradisional, seperti Pasar Ampera, Pasar Hamadi, Pasar Entrop, dan Pasar Abepura. Ada pula pasar kecamatan, seperti Pasar Tanjungria dan Pasar Muaratami di perbatasan RI dan PNG. Di pusat kota dan di Abepura juga ada pasar modern dan pusat grosir. Perdagangan dimotivasi etnis dari Sulawesi Selatan, warga Tionghoa, serta etnis lainnya, termasuk penduduk asli yang mulai melakukan perdagangan.
Berkait erat dengan perdagangan adalah sektor perhubungan. Untuk mendistribusikan barang ke daerah-daerah lain di pedalaman serta lancarnya aktivitas perdagangan, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai.
Angkutan laut, udara, dan darat mempunyai peran penting. Khusus angkutan darat, berbagai jenis kendaraan angkutan kota siap mengangkut penumpang maupun barang, mulai dari bus, taksi hingga mobil sewa. Belum lagi peran pelabuhan laut yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia Wilayah IV Cabang Jayapura. Kunjungan kapal bongkar-muat dan naik-turun penumpang terus meningkat. Bahkan tahun 2001 jumlah kapal niaga yang berlabuh naik 240,5 persen dari tahun sebelumnya menjadi 2.191 kapal.
Ramainya aktivitas perdagangan dan angkutan berpengaruh pada besarnya sumbangan kedua sektor itu bagi PDRB kota. Dalam lima tahun terakhir, dua sektor itu saling bersaing menempati posisi kedua setelah sektor jasa yang tak beranjak dari urutan teratas.
Kondisi jalan yang baik membuat Jayapura memiliki fungsi sebagai kota transit. Masyarakat yang ingin ke Wamena harus melalui Jayapura. Bukan hanya penduduk Papua yang menjadikan Jayapura sebagai kota transit, turis asing maupun lokal juga menggunakan kota ini sebagai kota persinggahan bila ingin menuju pedalaman. Penerbangan dari Jayapura ke pelosok pedalaman juga lebih mudah didapat, dibanding penerbangan dari kabupaten lain.
Meskipun Bandara Sentani terletak di Kabupaten Jayapura, lebih kurang 33 kilometer atau 30-45 menit dengan taksi bandara sampai ke pusat kota, pendatang, baik turis maupun yang datang untuk urusan dinas, akan singgah dan menginap di Kota Jayapura.
Pariwisata Jayapura memang belum sepenuhnya pulih dari kondisi terpuruk sejak krisis melanda negeri ini. Turis asing yang datang ke kota ini pun belum seperti yang diharapkan. Paling banter berharap pada turis asal PNG yang datang ke Jayapura. Selain berlibur dan mengunjungi tempat-tempat wisata, mereka juga datang berbelanja. Ada berbagai obyek wisata pantai yang ditawarkan seperti Pantai Base G, Pantai Hamadi, Pantai Hotekamp, dan Pantai Skow. Ada pula obyek wisata kultural semacam museum budaya dan obyek wisata peninggalan perang dunia II.
Kota Jayapura memang menjanjikan. Selain sebagai pusat pemerintahan, kota ini menjadi daya tarik masyarakat daerah sekitar yang mencari penghidupan. Mengalirnya masyarakat daerah sekitar ke Kota Jayapura berdampak pada meningkatnya pengangguran. Tahun 2001 pengangguran mencapai 12.242 pencari kerja, meningkat tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Jumlah terbesar berasal dari lulusan setingkat SMA sebanyak 8.717 dan sarjana sebanyak 2.415.
Masalah pengangguran menjadi persoalan tersendiri bagi kota yang juga menyandang sebutan kota pendidikan ini. Padahal, satu perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Cendrawasih dan 12 perguruan tinggi swasta dengan berbagai status merupakan wujud upaya kota ini meningkatkan sumber daya manusia berkualitas.
MG Retno Setyowati Litbang Kompas
Info lain lihat juga di: http://gojayapura.blogspot.com/
0 Comments:
Post a Comment
<< Home